CERPEN

Isyarat Mimpi

Oleh santika

Gigi ini dengan cepat membusuk dan terlepas dari gusi. Gigi depan ku yang seperti gigi kelinci ini entah kenapa copot begitu cepat, apa yang harus aku lakukan, kemudian muncul seorang entah siapa, berbadan tinggi namun perasaan ini seperti telah berteman akrab, tak ada lagi kecanggungan dan hatiku begitu nyaman ketika ia menghampiriku, ia seperti sahabat yang sudah aku kenal sejak dulu, ia mengenakan sehelai kain putih yang hanya di balutkan seperti pakaian naik haji, seperti memakai kain ihrom. Aku memeluknya dengan erat kemudia ia memegang daguku dan di hadapkan ke arah wajahnya yang putih, bermata teduh berhidung mancung dan berdagu lancip, ia memasangkanku behel dan memasang gigi yang telah copot itu. Dengan sedikit tenaga dipaksakannya gigi ini di rekat kawat behel namun gigiku tak bisa merekat kembali, aku ompong, harus bagaimana ini, lalu sepasang mata mengincarku, aku berlari tanpa tujuan sambil menangis sesenggukan, memegang gigi yang copot dan mata itu bertambah menjadi ribuan pasang mata yang mengawasiku dengan tatapan mengerikan. Aku terus berlari melewati cahaya kuning dan menembus gelap aku sangat ketakutan, sangat takut dan terdengar jeritan anak kecil memanggil ibunya aku semakin ketakutan dan langkahku semakin berat hingga aku tak dapat berlari lagi...
Nafasku terengah-engah, keringat bercucuran dan air mata masih mengalir di antara hidung dan pipi, mataku terbelalak seketika.” Mimpi gila ini mimpi gila” batinku berteriak. Aku masih terbaring di kasur. Segera aku mencari handphone, “jam berapa ini ?”, sambil membuka selimbut. Kemudian mengangkat bantal, karena seperti biasa aku simpan handphone di bawah bantal. Begitu aku usap layar handphone tertera dengan jelas 06.45. Seketika aku terperanjat, jantungku berdetak tak karuan. Aku kesiangan dan sekarang kuliah masuk pukul 07.00. dengan segera aku sambar handuk, daun pintu mendadak begitu sulit untuk aku putar hingga butuh waktu lebih lama. “sialan” aku caci pagi ini. Aku turuni tangga dengan berlari aku masuki kamar mandi dan mandi secepat kilat. Tanpa banyak berpikir aku kenakan baju yang ada di lemari, kamar yang berantakan tak kuperdulikan, aku segera tinggalkan kamar dan berlari menuju kampus.” Pukul 07.05 aku sudah telat lima menit, ya Allah semoga aku masih boleh masuk kelas” Pintaku sepanjang jalan yang kini terasa lebih jauh dari biasanya. Matahari begitu panas seperti marah padaku, sebelah kanan jalan berdiri kokoh tembok pembatas astrama putri kampus setinggi dua meter lebih dan di kiri jalan berdiri tembok pembatas kawasan sutet setinggi tiga meter. Yah jalan yang nampak seperti lorong ini begitu sepi, aku percepat langkah kakiku.
Dan betapa leganya hati ini, begitu aku sampai di kelas dosen menulis belum datang. Aku segera tempati kursi di depan meja dosen yang kebetulan belum ada yang mengisi kursi ini. Kelas ini begitu riuh, aku hampiri jendela yang berderet di sisi kanan kelas, beberapa jendelanya terbuka hingga angin keluar masuk dengan bebas, dari lantai lima ini pemandangan pagi sebelah barat UPI nampak jelas. Aku melihat motor-motor berderet rapih dan segelintir mahasiswa masih mencari-cari tempat parkir, pak satpam terlihat begitu sibuk mengatur parkiran. Mahasiswa lalu-lalang ada yang berjalan santai, ada pula yang setengah berlari mungkin ia juga kesiangan seperti aku. “maaf yah bapak telat”, suara lantang mengagetkanku yang tengah asik melihat keadaan pagi. Akupun berlari menuju kursi. Setengah jam berlalu kini konsentrasiku mulai terganggu oleh suara perut dan lilitan lambung yang belum sempat tersisi apapun. “sabar ya sabar waktu akan segera habis dan kita akan makan nasi kuning di kantin FPIPS”, bisik temanku yang mendengar jeritan perutku. Aku lemparkan tawa “ah kau, pendengaran kau tajam juga”.
Aku duduk sendiri di bangku belakang FPBS, bangku yang beratapkan bunga merah yang merona indah dengan daun berwarna hijau pekat yang dengan sendirinya merambat memenuhi besi-besi yang dilapisi cat berwarna hijau. Daunnya sangat rimbun hingga dapat meneduhi bangku-bangku ini, entah apa nama bunga ini, namun aku punya panggilan untuk bunga ini, aku suka memanggilnya bunga charlotte, charlotte nama yang cocok untuk bunga secantik ini. aku menikmati sebungkus nasi kuning di bawah bunga charlotte. Sesekali aku periksa handphone yang ku simpan di kantong depan tas, yah tak ada satupun sms, hari ini memang hari yang sibuk. Jadwalku dengan jadwal pacarku sama padatnya, aku masukan kembali handphone ke tempat yang sama. Kembali kunikmati nasi kuning yang kini tinggal kacang-kacang dan sesendok nasi yang segera aku lahap. Semilir udara segar dan sinar mentari yang menembus celah-celah bunga merah yang cantik membuat ku betah berlama-lama di sini.
“Tika ayoo masuk ih dah jam sepuluh nih” Kyo memukul pundakku.
“Jam sepuluh ?, ( sebenarnya aku tak menyadari keberadaan Kyo) oh iah?hayu atuh ke atas”, aku beranjak dari tempat duduk.
“Neng mana yo?”, aku memulai percakapan
“Ga tau, ga bareng. Lo dari tadi nongkrong di tempat itu?”, sahut Kyo.
“Ia, seperti biasa lah.. kamu dari mana tumben sendiri biasanya kan ajak neng klo ga ajak aku kan?”.
“Tadi tuh gue cari-cari kalian, tadi abis ambil ftokopian. Ya udah gue pergi sendiri”.
“Alahhhh tumben bener,,,”, aku menertawakan kemajuan yang di alami temannku
“Sialan lo, gue kan pemberani Cuma ke fotokopian alah ke bali aja gue sendiri berani”, membela diri.
“Iah iah gimana kyo aja lah”, aku menghentikan perdebatan.
“Eh ka tar selesai sanggar sastra kita makan di WS yu !” ajak Kyo.
“Pulangnya kan magrib Yo”, batinku merasa takut jika harus pergi malam.
“Ga apa-apa, lebih seru kan kita ajak Neng ama Wida juga”.
“Emm ya udah aku ngikut aja lahh, lagian kalo kalian pergi aku pulang sendiri dong”.
“Ia makanya ikut ajaaaa”.
“Ia ia dehh”.
Belajar bermain peran tak semudah yang aku bayangkan, ada beberapa tahapan yang harus di jalani, olah sukma, olah vokal dan olah raga, pak Ari Kappin sebagai intrustur datang dengan tampilan yang kece, rambut aga panjang yah mirip lah dengan tomingse dalam serial film dari Korea yang berjudul Meteor Garden, memakai kaca mata hitam, kaos hitam dan rompi tanpa lengan dari bahan jeans, celana jeans biru lengkap dengan ikat pinggang hitam melingkar di perutnya yang kekar, aku selalu kagum melihat pak Ari bukan karena aku naksir tapi kemahiran pak Ari dalam melantunkan musikalisasi puisi sungguh sangat mengagumkan, kami memulai latihan olah sukma dengan pemanasan yang menarik kami harus menjaga kekompakan, hal yang dilakukan memang ringan-ringan namun keringat yang dihasilkan sampai membanjiri lantai. Hingga waktu tak terasa berputar, matahari telah condong ke barat sinarnya sayup-sayup menguning, ruangan ini di penuhi cahaya kuning kemudian lampu-lampu neon lebih terang mengganti sinar matahari yang mulai menghilang, kami mengakhiri pertemuan kali ini dengan sedikit guyonan, hingga kami meninggalkan ruangan dengan gelak tawa yang ramai. Gedung ini hampir mati sunyi, kelas kami penghuni terakhir gedung FPBS ini, tinggal segelintir OB yang mengecek pintu-pintu kelas untuk menguncinya. Hari semakin gelap udara dingin menghempas tubuh yang penuh keringat sungguh nikmat, aku sangat lelah.
“Tika ayooo jadi ke WS?”, sahut Kyo.
“Cape banget ihhh laper”, Neng ikut nimbrung.
“Ia ih cape banget “, kataku.
“Ayo ih kita makan di mana?”, Kyo kembali menyodorkan pertanyaan yang sama.
“Ya udah hayuuuu brangkat ke WS”, kata ku.
“Wida ih hayu ke WS”, Nengsih memegang tangan Wida yang sedang asik dengan handphonenya.
“Ia ia terserah hayu aja aku ma ikut”, tandasnya datar tanpa melihat nengsih sedikitpun.
Kampus ini tinggal sayup-sayup suara celotehan kami yang beranjak meninggalkan kampus. Lampu-lampu jalan yang kuning di penuhi laron-laron yang kedinginan. Angin menghembus diam-diam terasa menggelikan. Namun jalan Setiabudhi belum mati, jalan ini masih saja padat merayap pedagang-pedagang malam di trotoar kampus tengah sibuk membereskan gerobak-gerobak daganggan, calo dan supir beradu suara lantang memanggil penumpang, klakson motor dan mobil silih berganti terdengar di jalan yang semakin padat ini. kami menyebrangi jalan dengan hati-hati lalu masuk ke dalam angkot jurusan kalapa-ledeng. Angkot yang telah terisi penuh penumpang. Aku duduk tepat di depan pintu masuk, Kyo dan Wida duduk di samping kiriku, sementara Nengsih duduk di samping pintu masuk yah, berhadapan denganku. Di sebelah kananku ada dua orang ibu-ibu yang tengah asik mengobrol dengan rekannya. Dan kamipun bercakap kembali dalam percakapan seputar proses latihan yang melelahkan. Tepat didepan penjual nanas dekat gang Panorama naiklah seorang bapak-bapak berpakaian rapih, berkacamata dan membawa tas kantor. Ia naik dan duduk bersebelahan denganku di sebelah kanan. Padahal jelas-jelas tempat duduknya sudah tidak mencukupi hingga aku berhimpit-himpitan dengan bapak-bapak itu. ”Dasar supir kejar setoran” batinku. Jalan Setiabudhi terlihat romantis, lampu-lampu jalan, lampu-lampu mobil, lampu-lampu pertokoan di sisi kiri-kanan jalan raya terlihat sangat indah. “Kiri “ suara itu menghentikan percakapan kita. Bapak-bapak di sampingku turun tepat di gang gerlong ia tampak tergesa. “Padahal dari gang Panorama ke gang gerlong bukan jarak yang jauh untuk berjalan kaki. “Yah mungkin ia sedang buru-buru makanya naik angkot juga” ,simpulan dalam hatiku. Hujan mulai turun menetes di kaca jendela angkot. Udara sekarang benar-benar terasa sangat dingin.
“Kiriiii”suara Kyo menghentikan laju angkot. Tepat di depan waroeng steak, kami pun berlari kedalam tempat makan itu, hujan turun semakin lebat. Tempat makan ini sangat ramai, nuansa cat warna hitam kuning mendominasi dinding yang penuh dengan aneka gambar menu hidangan yang terlihat menggiurkan. Meja-meja putih berderet rapih, kursi-kursi berwarna kuning di penuhi para pelanggan yang sedang lahap menyantap makanan, kami mendapat meja nomer 23 tepat berada di pojok dekat dapur, di samping tangga menuju musola. Jika dari luar keberadaan kami tidak terlihat. Aroma makanan benar-benar membuat kami tak sabar untuk segera makan. Kyo, Nengsih dan Wida sibuk memanggil pelayan yang tak kunjung datang, sementara aku menyender kedinding ,mengatur nafas yang masih tak karuan karena berlari menghindari tetes hujan. Akupun teringat akan handphone yang sejak tadi siang tak aku lihat lagi. Aku buka tas yang masih aku gendong. Dan seketika jantungku berdegup kencang, tangan dan kakiku seketika itu bergemetaran. Kantong kecil tempatku menyimpan handphone resletingnya terbuka setengah,
“Astagfirullohhalazimmmmmm”, ucapku sontak. “Kenapa ka kenapa?”, ucap Wida, Kyo dan Nengsih. Dengan nada seperti orang yang kedinginan dan air mata yang mulai menderai membasahi pipi “Handphone aku ga adaaaaa”.
“Serius”, kata Wida seolah tak percaya.
“Bener”, aku sudah tak kuasa menahan rasa ingin menagis dengan keras.
“Coba-coba misscall”, Nengsih memberi usul dan semua mencoba menelpon. Sontak aku semakin sangat terpukul nomerku sudah tidak aktif.
“Tenang-tenang,,,,sini tasnya aku cari keselip mungkin”, Kyo menenangkanku.
“Engga kyooo, aku nyakin nyimpennya di sini demi Allah iiiiih ga adaaaaa”, aku menangis tersedu.
“Mungkin jatoh di kelas ka”, kata Nengsih.
“Engga iiiiih ama aku ga di kluar-kluarin”.
Wida terus menelpon nomorku, Kyo mengobrak-abrik isi tasku dan hasilnya nihil.
Aku terus menangis semakin keras, “Tikaaaa udah iiih tenang dulu ada ko ada pasti ada ayo kita cari ke kampus yu pasti jatohh”, seru Nengsih.
“Pasti di angkot ini mah”, kata Wida yang mulai mencurigai seseorang.
“Udah yuuuuu cariii”, kata Kyo sambil membereskan isi tasku.
“Cari kemana Yo? Kampus pasti dah di tutup”, kata Nengsih sambil mengusap-ngusap punggungku.
“Engga aku ma yakin pasti di anggkot, inget ga ama bapak-bapak yang naik di deket tukang nanas itu?”, kata Wida mulai menerawang apa yang sedang terjadi.
“Ia ia aku inget”, Kyo mulai satu fikiran dengan Wida.
“Tadi bapak-bapak itu kan naik di deket tukang nanas terus turun lagi di geger kalong kan? sok padahal deket kan? jalan kaki juga bisa? tadi duduknya deket si tika, nih apalagi tasnya kebuka gni ma pasti di ambil ini mah”, Wida menjelaskan.
“Atuuuuuu gimana iiiiii ya Allahhh atu iiiiih kembaliin handphone akuu”, aku terus berisak.
“Tenang Tika tenang biasanya kalo yang nyuri gitu ma langsung di jual, hayu kita cari aja yu ke konter-konter daerah geger kalong”, ucap Kyo.
Kami bergegas meninggalkan waroeng steak, hujan rintik-rintik masih turun, dingin basah dan menyesakkan, seperti rasa ini yang begitu menyesakkan aku seperti tak tau apa yang harus aku lakukan kaki ini bergemetar melanggkahpun terasa begitu berat. Air mata terus bercucuran, tak kupedulikan mereka yang melihatku, bayangkan saja handphone yang baru saja aku beli dari hasil beasiswa yang aku terima, handphone seharga satu juta tiga ratus ribu hilang begitu saja, belum sampai tiga bulan aku memakai handphone itu, handphone terbagus yang aku miliki yang aku idam-idamkan harus hilang dengan waktu yang sungguh singkat, astagfiruloh dosa apa yang aku perbuat hingga barang yang aku inginkan harus hilang dari genggammanku....
Kami menuju ke Gegerkalong, di bawah awan yang masih mencucurkan air kami mencari, bertanya dari konter ke konter, aku masih saja tak bisa berhenti menangis malah semakin keras menangis mendengar penjelasan abang-abang konter “Atuh neng ai copet ma licik, ga kan di jual di sini, gimana kronologisnya ?“ kata abang konter dengan penasaran. Kyo menjelaskan dengan rinci.”ah neng itu mah udah join sama supir, makanya hati-hati sekarang ma udah berdoa saja, sok pulang weh udah malem kasian cape ya” abang tersenyum pada kami. ”Makasih ya”, sahut kami dan pergi meninggalkan konter itu.
“Gimana nih ka?”, Kyo sangat kebingungan harus berbuat apa lagi.
“Ya udah kita pulang aja we ga apa-apa”, pintaku.
“Kita makan dulu we, udah lapar banget kan?yu dari pada besok sakit, besok olah raga loh ..hayu makan dulu aja”, Wida memberi saran.
“Ya udah yu”, kami menyusuri jalan gerlong, Nengsih masih memengangiku dan sesekali mengusap-ngusap punggungku.
Kami makan di Limamu, aku sudah tak nafsu makan lagi yang aku pikirkan ada bermacam hal di handphoneku, pin atm aku tulis dalam memo, alamat kosan, dan bermacam email, gmail semua ada tercatat di handphoneku, foto-fotoku, dan semua hal yang ada di kartu sim ku itu semua tak akan bisa tergantikan. Tangisku tak henti-henti, dada ini terasa penuh sesak.
“Eeeeeh ini nomer nya aktif”, Nengsih memecah tangisku.
“Iah neng? coba telepon terus sampai di angkat”, pintaku.
“Di rejek tikkk”, Nengsih berulang kali menelpon.
“Coba semuanya sms nomer Tika”, Kyo dengan semangat.
“Ini ini di bales”, Kyo menunjukan smsnya kepadaku.
“Kan aku sms gini yah, balikin hape temen saya, klo tidak saya anda santet, ih di balesnya Cuma terserah”.
“Ih kamu mah harusnya di baik-baikin dulu jangan langsung di gituin”, kata wida menyesali perbuatan Kyo.
“Tik ini di angkat”, Nengsih menyodorkan handphonenya.
“Haloooooo, kembaliin hape akuuuu, kamu mau uang ? mau berapa? aku ga butuh handphonnya aku Cuma butuh kartunya,,haloooooo ngomong atu iiih kamu te !!!!!” aku terus berusaha berbicara namun di ujung telepon tak kunjung ada suara. Hingga detik ke 45 telponnya di akhiri. Aku kembali menangis sesenggukan.
“Udah Tika udah sabar, ini bukan rizki Tika...ntar juga keganti percaya dehh”, Nengsih kembali menenangkanku.
“Ia Tika udah ihhh”, Kyo memelukku.
“Astagfiruloh liat ini“, Nengsih terlihat terkejut.
“Apa-apa”, Kyo langsung melihat.
“IiiiiiiiiiiiiihTtika udah ikhlasin ajaaaa!!!!”, Kyo terlihat sangat ngeri.
“Kenapa? pencurinya sms apa?”, aku penasaran.
“Nih liat hapenya mau di balikin asal kamu harus berhubungan sex dengan saya, goblok ga nih orang udah antepin aja lah mending hilang harga diri mending hilang hp?”, Kyo beremosi.
“Iih goblok lah ituh orang calon penghuni neraka”, Wida ikut tersulut.
Sementara aku semakin merasa takut, di handphone ada fotoku, alamat kosan, apa jadinya ini jika memang pencuri itu sangat licik, harus bagaimana ini. “Ayo pulanggggg” pintaku..”.Ia ia sabar tik kita harus makan dulu iiiiih kamu juga laper kan?” makan malam dengan menu yang super lezat sekalipun terasa makan racun jika kondisinya seperti ini, menunggu limabelas menit pun serasa menunggu setaun. Aku sangat ketakutan melebihi rasa takut yang aku rasakan tadi malam.
Cahaya lampu jalan yang berpendar dalam gelap di sisi jalan yang di selingi pohon akasia dan pohon beringin di kanan kiri jalan isola. Malam jumat yang kelabu sehabis hujan nampak begitu tenang dan sepi. Jalan yang basah seperti bersinar di bawah lampu jalan. Kita berjalan bergandengan, menembus rasa takut yang ada dalam benak masing-masing, sesekali cucuran airmata masih saja keluar, sesenggukan tak dapat aku tahan. Aku harap ini adalah mimpi. Kyo, Nengsih dan Wida tak henti menenangkanku.
Dikosan Kyo akhirnya kami merebahkan badan yang seakan remuk, apalagi aku. Kosan yang lumayan luas, lebih luas dari kamarku. Ketika pintu kamar di buka aku langsung menghampiri kasur yang diletakan tepat di sudut kiri, sejajar dengan lemari baju yang di atasnya ada berbagai macam aksesoris, make-up dan sebuah cermin. Di samping kiri ada sebuah meja belajar penuh buku-buku. Aku bersandar di kasur dekat meja belajar aku ucap istigfar berulang kali. Kyo menghampiriku dan berbisik baca ayat kursi. Kyo, Nengsih dan Wida bergantian mandi, sementara aku sibuk menghubungi ayah dan ibu bercerita tentang yang telah aku jalani.
Aku lelah sungguh lelah, “heh” seseorang bermata sinis menghampiriku, tapi aku tak takut, ku tatap mata itu dan ku tantangi mata itu aku tak takut !. Lalu seorang wanita gendut beralis tebal memakai baju bergaris hitam pink melihatku dan memberi sebuah kursi muncullah tas besar di depanku “aku sangat ingin handphonku kembali, ada berbagai hal di handphone itu, jika berat mengembalikannya maka kartunya saja tak apa” ucapku merengek pada wanita gemuk itu dan sepasang mata sinis menghampiriku melempar handphone putih miliku dan kutangkap segera. Aku berlari sekencang-kencangnya, aku pegang erat hape ini. Aku berlari dalam lumpur yang mengental seperti menghisap ku kedalam tanah, menjeritpun aku tak bisa, dunia ini begitu jahat. Sepasang mata mengerikan itu terus mengawasiku “aku sungguh cape” kakiku sungguh sangat susah untuk keluar dari lumpur aku sungguh cape, cape !!!! cape !!!!!! pergi kau, pergi sekarang juga, ini miliku !!!!!! aku cape ! dan ku temukan diriku masih berada di kamar kosan kyo dan tanganku tak menggenggap apapun.”hanya mimpi !!! hanya mimpi !” Air mata pun kembali terurai dan aku tak mau tidur lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar